Proses Terjadinya Halusinasi Sebagaimana Diungkapkan Oleh Penderita Skizofrenia

Proses Terjadinya Halusinasi Sebagaimana Diungkapkan Oleh Penderita Skizofrenia

Oleh : Sutrisno

 

Halusinasi adalah gejala yang khas dari skizofrenia yang merupakan pengalaman sensori yang menyimpang atau salah yang dipersepsikan sebagai sesuatu yang nyata. Kondisi ini menyebabkan individu tidak bisa kontak dengan lingkungan dan hidup dalam dunianya sendiri. Bahkan kalau halusinasinya masih kuat penderita bisa berbahaya bagi dirinya sendiri dan orang lain. Hingga saat ini, bagaimana fenomene proses terjadinya halusinasi yang dialami penderita skizofrenia belumlah terungkap. Karena itu saya ini tertarik untuk  menggali pengalaman penderita skizofrenia tentang proses terjadinya halusinasi. Delapan orang informan yang memenuhi  kriteria diinterview secara mendalam dan seluruh pembicaraannya direkam dengan tape recorder. Hasil interview dianalisa dengan pendekatan Collaizi, dan diperoleh lima tema besar yakni; proses terjadinya halusinasi dimulai dengan adanya serangkaian masalah yang dipikirkan atau dirasakan penderita, situasi atau kondisi tertentu dapat mencetuskan halusinasi, proses terjadinya halusinasi terjadi secara bertahap, waktu proses terjadinya halusinasi, dan pencegahan halusinasi dengan pendekatan spiritual dan penggunaan koping yang konstruktif. Dapat disimpulkan bahwa dalam merawat penderita skizofrenia yang mengalami halusinasi haruslah memahami bagaimana terjadinya halusinasi secara komprehensif.

 

Kata kunci : proses halusinasi, skizofrenia, phenomena

the process of hallucinations :
As describe by individual diagnose with schizophrenia

   

Hallucination is one hallmark symptom of schizophrenia. Hallucination is false or distorted sensory experiences that appear to be real perception. This condition causes the individuals to lose contact with environment and live in their own world. They are also dangerous for other people and themselves because the hallucination threatens them. Until now, the phenomenon of hallucination have not been revealed yet. Therefore, it is important to explore the live world of the people who experience hallucination. The purpose of this research is to undertake an exploration of living with hallucination as described by people who have been diagnosed with schizophrenia. Phenomenological approach was used to gain data. The data was analysed using Collaizi‟ approach to analysis. Eight clients with schizophrenia were selected, and data were collected through audiotaped semistructured interviewes. Five main categories of theme emerged from the interviews: The process of hallicunation was started by a lot of problem that burdened the clients; the process of hallicunation was triggered by specific situation and condition; the process of hallucination was happened in several step, time for the process of hallucinations and hallucinations can be prevented by spiritual activity and constructive coping behaviour. Conclusions highlight the need to understand about the process of hallucinations in comprehensively.

  

Key words: the process of hallucinations, schizophrenia, phenomenon

  

I. PENDAHULUAN
Pada tahun 2025 nanti diseluruh dunia akan terjadi pergeseran penyakit. Penyakit infeksi akan dapat dikendalikan dan gangguan jiwa akan menjadi masalah utama. Masalah kesehatan jiwa telah menjadi “The Global Burden of Disease” (Rossler, Salize, van Os & Riecher-Rossler, 2005). Diseluruh dunia diperkirakan 24 juta orang mengalami skizofrenia dan di Indonesia sebanyak 1,2 juta orang telah didiagnosa menderita skizofrenia (WHO, 2008). Skizofrenia adalah “suatu gangguan (psikosa) dengan gangguan utama pada proses berpikir, persepsi, kognisi dan fungsi sosial” (Elder, Evans, and Nizette, 2005, p. 219).

Halusinasi merupakan suatu gejala yang khas pada skizofrenia (Uhlhass & Mishara, 2006), dimana individu tidak bisa membedakan antara stimulus internal dan eksternal. Individu seolah – olah melihat atau mendengar sesuatu yang pada kenyataannya tidak ada. Menurut hasil penelitian Shawyer, et al. (2008) individu yang mengalami halusinasi dapat berbahaya bagi dirinya sendiri maupun orang lain karena halusinasinya terkadang menyuruhnya untuk melakukan kekerasan. Sayangnya, banyak sekali diantara penderita skizofrenia yang tetap mengalami halusinasi sekalipun mereka sedang mendapat obat – obatan anti psikotik, seperti yang ditemukan oleh Carpenter (2004).

Di Rumah Sakit  Banyumas  bangsal  jiwa  walaupun belum ada kejadian bunuh diri, tapi percobaan bunuh diri sering ditemukan pada penderita skizofrenia yang mengalami    halusinasi. Disamping itu banyak dari penderita tersebut sering melakukan kekerasan   pada barang atau orang lain. Keadaan ini tentunya perlu penanganan yang tepat dan   serius dari tenaga kesehatan terutama perawat yang berada 24 jam bersama penderita. Untuk dapat menentukan perencanaan terapi yang tepat dalam mengatasi perilaku penderita tersebut, pemahaman tentang bagaimana terjadinyab halusinasi ini menjadi dasar yang sangat penting bagi perawat. Penelitian yang dilakukan oleh Whitfield, Dubeb, Felitti, and Anda (2005) di san Diego dengan melakukan survey

terhadap 50000 penderita psikotik menemukan bahwa halusinasi yang dialami seseorang erat kaitannya dengan masalah yang menjadi pengalaman traumatis bagi dirinya. Akan tetapi menurut Garcelan (2004) dalam artikelnya yang berjudul “A psychological model for verbal auditory hallucinations”, ketika suatu proses halusinasi telah terjadi, maka pengalaman halusinasi berikutnya dicetuskan bukan oleh stres yang tinggi tapi oleh kejadian – kejadian pribadi tertentu dalam kehidupan individu yang menjadi fokus bagi dirinya..

Hasil tersebut telah menggambarkan secara umum tentang kharakteristik dari halusinasi yang dialami penderita. Namun belum teridentifikasi bagaimana klien mengalami halusinasi itu dalam arti bagaimana proses yang dialami penderita dari keadaan stress sampai mengalami halusinasi, secara lebih mendalam. Pemahaman yang lebih mendalam tentang proses terjadinya halusinasi sangat diperlukan untuk dapat mengungkap misteri dibalik kejadian halusinasi. Karena itu perlu dilakukan penelitian tentang pengalaman penderita skizofrenia tentang proses terjadinya halusinasi.

 

Metode yang digunakan ini adalah kualitatif. dengan pendekatan phenomenology. Menurut asalnya fenomenologi yang ditemukan oleh Hussler merupakan sebuah filosofi (Giorgi, A & Giorgi, B., 2008). Akan tetapi selanjutnya fenomenologi berkembang menjadi sebuah metode penelitian. Sebagai metode penelitian fenomenologi adalah suatau metode yang sistematis untuk mempelajari atau menggali sebuah fenomena yang sulit diobservasi atau diukur (Wilding & Whiteford, 2005, p. 99). Subjek penelitian atau informan dalam penelitian ini adalah 8 orang penderita skizofrenia yang sedang dirawat di ruang tenang RSU D Banyumas selama periode desember 2021 sampai April 2022. Informan diwawancarai 2 kali. Pertama di Ruangan di RSUD Banyumas  dan yang kedua di rumah informan. Informasi dikumpulkan dengan cara melakukan in depth interview (wawancara mendalam) terhadap informan yang memenuhi kriteria pada saat pederita sedang dirawat di Rumah Sakit Jiwa Cimahi. Wawancara dilakukan selama 45 menit. Sebelumnya informan diberi tahu tentang tujuan dan kegunaan dari penelitian. Pertanyaan utama yang diajukan berupa pertanyaan terbuka. Pertanyaan – pertanyaan selanjutnya adalah untuk mengklarifikasi atau memvalidasi informasi yang diberikan. Agar data yang terkumpul dapat terjaga dengan lengkap, maka wawancara yang dilakukan direkam. Peneliti juga membuat catatan yang bertujuan menuliskan keadaan atau situasi dan respon non verbal yang ditunjukkan informan selama wawancara berlansung.

Analisa data dilakukan menggunakan 7 langkah analisa menurut pendekatan Collaizi, mulai dari pendeskripsian semua hasil wawancara sampai terbentuknya sturktur yang fundamental atau defenisi dari pengalaman informan. Selama analisa data hal penting yang harus diperhatikan adalah bracketing. Karena itu selama proses analisa data peneliti senantiasa fokus pada semua pernyataan informan dan mencoba membuang (put aside) semua pengetahuan, pengalaman dan asumsi peneliti tentang aspek yang diteliti.

 

Karakteristik Informan

Informan 1 (MN) umur 24 tahun, belum menikah, lulusan SMA, pertama kali didiagnosa mengalami skizofrenia tahun 2009. Informan 2 dengan inisial Tn AD,

umur 35 tahun, status duda, lulusan SMA. Penderita telah mengalami skizofrenia sejak tahun 2007 dan sering mengalami halusinasi. Informan ke III (Tn ZA), umur 45 tahun, sarjana tetapi tidak bekerja karena telah mengalami skizofrenia sejak tahun 2018. Informan ke 4, (HR), 55 tahun dengan tiga orang anak, tenaga administrasi di sebuah perusahaan swasta, mengalami Skizofrenia sejak tahun 1996. Informan ke 5 (Ny. TB), usia 28 tahun, seorang janda beranak satu dan telah menderita skizofrenia sejak tahun 2017.

Informan ke 6. (Ny. SS), berusia 29 tahun. Pernah sekolah sampai SMA tapi tidak tamat. karena masalah biaya. Informan ke 7 berinisial KN, umur 28 tahun. Seorang laki – laki yang tidak punya pekerjaan tetap dan belum menikah. Informan ini pernah kuliah sampai tingkat III dan telah mengalami skizofrenia sejak tahun 2019. Informan ke 8 (BH), umur 48 tahun. Seorang suami dan buruh tidak tetap. Menderita skizofrenia sejak tahun 2011. Penderita pernah kuliah tapi gagal karena sering kambuh.

 
Dari hasil wawancara dengan delapan orang informan dapat diidentifikasi lima tema yang muncul yang terdiri dari : Proses terjadinya halusinasi dimulai dengan adanya serangkaian masalah yang dipikirkan atau dirasakan penderita, situasi atau kondisi tertentu dapat mencetuskan halusinasi, proses terjadinya halusinasi bertahap, proses dari adanya pencetus sampai munculnya halusinasi terjadi dalam waktu yang relatif singkat, halusinasi dapat dicegah dengan pendekatan spiritual, penggunaan koping yang konstruktif dan menghindari kesendirian.

 

Tema 1: Proses terjadinya halusinasi di mulai dengan adanya serangkaian masalah yang dipikirkan atau dirasakan penderita.
 
Halusinasi pada individu yang didiagnosa skizofrenia tidaklah terjadi begitu saja, akan tetapi disebabkan oleh berbagai masalah yang dialami oleh mereka. Hal ini sebagaimana diungkap oleh sebagian besar informan. MN yang sudah mengalami skizofrenia selama 8 tahun mengungkapkan “ ….Waktu saya masih SMP, pertamanya saya pakai narkoba karena merasa kurang kasih saying, saya dicuekkean sama orang tua. Orang tua saya bercerai. Bapak saya percaya yang gaib

– gaib gitu, ketika saya nonton TV seolah ada yang meberi tahu…… memberi tahu bahwa saya tidak berguna. Tidak seperti MN, Tn ZA mengalami masalah yang cukup pelik dan kronis sehubungan dengan penyakitnya dan umurnya yang sudah hampir setengah baya“ di rumah… saya melamun terus….. pingin pinya istri... Saya ribut sama orang bu, saya dianggapnya orang gila…… Ribut karena memperebutkan perempuan. Saya kan punya pacar... pacar saya itu digangguin oranng itu.”

Berbeda dengan MN dan ZA, Ny TB mengalami suatu pengalaman yang traumatis sebelum dia mengalami halusinasi seperti diungkapkannya “saya dulu pernah diperkosa…. Waktu saya kelas III SMP, saya sangat malu dan melamun….. kalau saya ingat peristiwa itu saya melamun… jadinya saya mendengar suara – suara. Ny SS mempunyai pengalaman yang juga sangat menggelisahkan hatinya “Saya pingin kerja……..tapi tidak bisa. Tidak ada yang mau nerima saya. Jadinya saya gelisah dan mendengar suara - suara” Sama seperti Ny SS, Tn BH juga menyatakan kegagalan sebagai penyebab munculnya halusinasinya ”Saya gagal sekolahnya……. Terus kuliah di tempat lain…… gagal lagi……akhirnya... saya sering melamun dan mendengar suara - suara"

 

Tema 2: Situasi atau kondisi tertentu dapat mencetuskan halusinasi
 
Tema kedua yang kemudian muncul adalah adanya situasi atau kondisi tertentu yang mencetuskan munculnya halusinasi walaupun mereka sedang dalam pengobatan. Hal ini diungkapkan oleh semua informan dalm konteks yang berbeda, seperti yang diungkapkan oleh MN pada peneliti berikut ini “..Ya… kalau saya lagi melamun… ingat – ingat peristiwa masa lalu, halusinasi saya suka muncul”. Tidak seperti MN, Tn AD mengungkapkan bahwa perasaan sedihlah yang memunculkan halusinasinya. “…saya pingin pulang, …..sedih, nggak enak….pingin pulang terus”. Sedangkan Tn ZA mengungkapkan bahwa halusinasinya muncul setiap kali dia mau tidur “ Kalau malam… kalau mau tidur… melamun”

HR mengungkapkan bahwa halusinasinya timbul kalau memikirkan sesuatu “ kalau lagi ada masalah dalam pikiran…..pikiran saya lagi mampet maka halusinasi suka muncul “. Ny TB mengungkapakan dengan singkat “ saya mendengar suara- suara kalau lagi melamun“ Sama seperti Ny TB, Ny SS juga mengungkapkan “…Kalau saya lagi sendiri….. melamun “ Selanjutnya, Ny SS menambahkan “Bila melamun…..misalnya waktu itu saya pingin punya mobil, rumah, kemudian dipikirkan seolah – olah ada imajinasi, “ Akan tetapi BH mengungkapkan bahwa halusinasinya timbul kalau dia sedang marah seperti diungkapkannya“…Nggak tau ya… kalau saya lagi kesal saya suka mendengar suara - suara “dan juga ketika dia merasa tersinggung seperti diungkapkannya “Perasaan tersinggung….perasaan tersinggung itu saya tekan akibatnya saya mendengar suara-suara.”

 

Proses halusinasi terjadi secara bertahap
 
Terjadinya halusinasi tidaklah tiba – tiba tetapi terjadi melalui tahapan mulai dari adanya situasi atau kondisi yang mencetuskan hingga munculnya halusinasi. Tema ini muncul dari hasil analisa data terhadap proses terjadinya halusinasi yang dialami oleh sebagian responden. Berikut ungkapan-ungkapan informan yang menunjukkan hal tersebut: Informan ZA mengatakan “waktu itu... saya ribut sama orang… setelah ribut saya melamun. Setengah jam melamun muncul perasaan nggak enak…tegang…akhirnya muncul suara - suara”

Dalam konteks yang berbeda Ny TB mengungkapkan tahapan proses halusinasi yang dialaminya “ kalau ingat peristiwa itu (diperkosa) saya jadi melamun………seperti kemasukan setan……hati terasa kosong, melayang – layang, kemudian muncul suara - suara.” Hampir sama dengan Ny TB, KN juga mengalami tahapan proses dimana adanya masalah yang tidak terpecahkan menyebabkan individu melamun, kemudian merasa kosong dan mendengar suara - suara “... hati gelisah……. melamun… misalnya waktu itu saya pingin punya mobil dan rumah, kemudian dipikirkan terus... melamun terus... pikiran jadi kosong... kemudian seolah – olah ada suara menimpali”

Waktu untuk proses terjadinya halusinasi
Berdasarkan ungkapan dari informan ternyata proses dari melamun sampai terjadinya halusinasi itu tidak lama. Hanya berkisar antara 15 menit sampai satu jam. Tn ZA mengatakan “ dari saat melamun sampai munculnya halusinasi itu waktunya setengah jam kayaknya”. Ny SS juga mengungkapkan hal yang hampir sama “Lima belas menit melamun, terus mendengar suara – suara itu” Kemudian dia menambahkab “Nggak selalu……tapi rata – rata begitu”. Informan KN mengalami waktu yang lebih lama dalam proses halusinasinya seperti diungkapkannya “sekitar lima belas menitlah”, “ ya,… kira – kira begitulah….. paling lama satu jam. Akan tetapi HR tidak menyatakan waktu yang pasti dalam proses halusinasinya “ ketika ada masalah dalam pikiran… tidak lama saya lansung mendengar suara –suara itu”

 

Pencegahan halusinasi dengan pendekatan spiritual dan penggunaan koping yang konstruktif
 

Tema ini muncul dari hasil analisa data , dimana semua informan mengungkapkan tentang cara yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya halusinasi. MN yang telah mengalami halusinasi dalam waktu lebih dari lima tahun mengungkapakan pengalamannya mencegah terjadinya halusinasi “ Sholat, banyak teman, curhat, jangan banyak pikiran”, Dengan informasi yang hampir sama Tn ZA mengungkapkan “ditemanin gitu bu, diajak ngobrol, Sholat, berdoa”. Demikian juga dengan KN “Rajin beribadah, konsultasi dengan tenaga kesehatan, sholat, puasa ” Sedangkan HR mengungkapkan yang berbeda dalam mencegah halusinanya yaitu dengan mengendalikan pikirannya sendiri “Mengendalikan pikiran, kalau ada pikiran yang jelek – jelek buang jauh - jauh”. Demikian pula dengan BH, yang menambahkan pengelolaan perasaan disamping pengendalian pikiran “Jangan banyak pikiran…jangan suka menekan perasaan, jaga perasaan supaya tetap tenang, sabar...”

 

Pembahasan
 
Hasil menunjukkan bahwa sebelum penderita mengalami halusinasi, mereka mengalami banyak masalah yang tak teratasi. Masalah – masalah tersebut antara lain merasa kurang kasih sayang karena orang tua bercerai, pingin punya istri tapi nggak ada yang mau, ribut sama orang karena memperebutkan perempuan, diperkosa, sulit mendapat pekerjaan, gagal sekolah dan kuliah.

Berdasarkan pengalaman  selama membimbing dan merawat pasien dengan skizofrenia, memang semua penderita mengalami banyak sekali masalah akibat berbagai peristiwa yang terjadi dalam kehidupan mereka sejak mereka masih kanak – kanak sampai mereka dewasa. Masalah – masalah yang menumpuk dan tidak terpecahkan mengakibatkan mereka menjadi putus asa, melamun dan akhirnya mengalami halusinasi.

Temuan ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Whitfield, Dubeb, Felitti, and Anda (2005) yang menemukan bahwa halusinasi yang dialami seseorang erat kaitannya dengan masalah yang menjadi pengalaman traumatis bagi dirinya. Akan tetapi ada juga hasil penelitian yang menyimpulkan bahwa penyebab terjadinya skizofrenia yang salah satu gejalanya halusinasi adalah berhubungan dengan gangguan neurobiologi (O‟Daly, Frangon, Chitnis & Shergill, 2007).

Setiap orang pasti punya masalah, akan tetapi tidak semua orang yang punya masalah mengalami gangguan jiwa sampai mengalami halusinasi. Semuanya itu tergantung pada seberapa besar masalah yang dihadapi dan bagaimana seseorang menyikapinya. Disamping itu juga dipengaruhi oleh faktor lain seperti faktor psikoedukasi dan neurobiologi (Behrendt and Young, 2004). Faktor lain adalah faktor koping. Individu yang mempunyai koping yang baik tentunya akan mampu mengatasi masalah dalam kehidupannya. Sebaliknya individu yang mempunyai koping yang tidak konstruktif akan cenderung mengalami stres yang berkepanjangan karena mereka tidak mampu mengatasi masalah yang terjadi dalam kehidupannya. Sters yang berkepanjangan dan tidak pernah terselesaikan bisa menjadi salah satu penyebab munculnya halusinasi.

Berkaitan dengan hal tersebut diatas, sebagai perawat jiwa adalah sangat penting untuk melaksanakan program preventif di masyarakat. Deteksi dini terhadap penderita gangguan jiwa sangat penting agar mereka dapat ditanggulangi sedini mungkin dan menyiapkan mereka dengan koping yang baik sehingga mampu menyikapi masalah mereka dengan baik pula.

Halusinasi terjadi tidak secara terus menerus. Akan tetapi secara intermitten. Misalnya, ada pasien yang mengalaminya setiap pagi dan sore hari, ada yang mengalaminya setiap sore dan malam hari, ada yang mengalaminya 3 kali sehtrai, ada yang empat kali sehari, dan adapula yang 7 kali sehari. Hanya sedikit dari penderita skizofrenia yang mengalami halusinasi selama 24 jam. Jadi ada sesuatu yang mencetuskan munculnya halusinasi. Berdasarkan wawancara dengan informan hampir semuanya mengungkapkan bahwa ada situasi dan kondisi tertentu yang mencetuskan munculnya halusinasi. Situasi dan kondisi tersebut antara lain teringat peristiwa masa lalu yang menyakitkan, sedih, malam hari sebelum tidur, melamun, ada masalalahh, keadaan kesal, dan perasaan tersinggung. Temuan ini mendukung hasil penelitian sebelumya yang menyimpulkan bahwa situasi atau pikiran – pikiran tertentu bisa mencetuskan munculnya halusinasi (Garcelan, 2004). Menurut teori Garcelan (2004), stres berat yang menyebabkan seorang pasien mengalami halusinasi, pada keadaan mereka dalam proses pengobatan dan perawatan atau setelah selesai perawatan tidak lagi menjadi pencetus halusinasi mereka. Akan tetapi yang mencetuskan terjadinya halusinasi mereka adalah stres akibat kegagalan hubungan sosial dan atau keadaan yang dialaminya dalam kehidupan kesehariannya.

Fenomena yang ditemukan tersebut diatas sangat besar kontribusinya dalam merawat penderita skizofrenia yang mengalami halusinasi. Temuan tersebut dapat dijadikan dasar untuk mencegah timbulnya halusinasi, dimana untuk mencegah

timbulnya halusinasi, penderita harus menghindari situasi atau kondisi tersebut diatas. Implikasinya dalam asuhan keperawatan jiwa adalah sangat penting diingat agar dalam melakukan pengkajian, tidak mengungkit – ungkit masa lalu klien yang menyakitkan karena hal itu dapat mencetuskan munculnya halusinasi. Banyak sekali kasus yang terjadi di rumah sakit jiwa, penderita mengamuk setelah di interview oleh mahasiswa yang sedang praktek di rumah sakit jiwa. Disinilah pentingnya peran pembimbing klinik untuk mengajarkan dan memberi contoh tentang bagaimana cara melakukan interaksi dengan pasien. Pembimbing klinik seharusnya melakukan supervisi dengan baik terhadap semua mahasiswanya, agar mereka benar – benar mampu memberikan asuhan keperawatan pada pasien gangguan jiwa.

Telah diketahui dari hasil ini bahwa terjadinya halusinasi tidaklah tiba –tiba tetapi terjadi melalui tahapan mulai dari adanya situasi atau kondisi yang mencetuskan hingga munculnya halusinasi. Dari wawancara terhadap semua informan, tidak satupun yang mengungkapkan tahapan halusinasi seperti yang disimpulkan oleh Peplau (1952) dan Clack (1962) dalam Antai Otong (1995). Ada informan yang menyatakan bahwa halusinasi yang dialaminya tidak pernah menyuruh – nyuruh dia melakukan sesuatu, hanya suara orang lagi berbicara. Ada juga yang hanya mendengar suara angin. Sebaliknya, ada juga yang secara lansung mendengar suara – suara yang menyuruh melakukan sesuatu tanpa melalui tahap conforting, condemning dan controlling. Implikasinya terhadap keperawatan jiwa adalah bahwa dalam merawat penderita yang mengalami halusinasi, tidaklah begitu penting untuk melakukan pemutusan halusinasi dengan mengatakan „stop saya tidak mau dengar‟ seperti yang selama ini diajarkan oleh perawat di hampir semua rumah sakit jiwa di Indonesia. Yang terpenting adalah bagaimana mencegah agar penderita tidak mengalami halusinasi yaitu dengan cara melatih penderita untuk mengenali situasi dan kondisi yang mencetuskan halusinasinya dan mengajarkan penderita cara untuk mengatasi situasi atau kondisi yang mencetuskan halusinasinya tersebut. Tentu saja situasi dan kondisi yang mencetuskan halusinasi tiap – tiap penderita berbeda – beda. Karena itu perlu pengkajian yang tepat dan akurat.

Proses dari adanya pencetus sampai munculnya halusinasi terjadi dalam waktu yang relatif singkat. Temuan ini mungkin merupakan temuan yang terbaru dari proses terjadinya halusinasi karena dari banyak literatur yang saya baca tidak ada yang mengungkap tentang waktu proses munculnya halusinasi. Hasil ini mengungkap bahwa proses munculnya halusinasi dari adanya pencetus sampai timbulnya halusinasi tidak lama. Dengan kata lain halusinasi muncul begitu ada situasi atau kondisi yang men trigger muncunya halusinasi tersebut. Karena itu penting untuk mengenali dan mengendalikan situasi kondisi tersebut. Kalau pasien sudah mengenali dan memahami bahwa yang mencetuskan halusinasinya adalah keadaan dimana dia sedang sendirian, maka untuk mencegah terjadinya halusinasinya, pasien haruslah menghindari kesendirian.

Halusinasi dapat dicegah dengan pendekatan spiritual, penggunaan koping yang konstruktif dan menghingari kesendirian. Hasil ini yang mengungkap bahwa pendekatan spiritual bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya halusinasi sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh.... yang menemukan bahwa .....

Menghindari kesendirian ini sangat penting karena banyak diantara penderita skizofrenia yang mengalami halusinasi ketika dia sendirian dan tidak ada kegiatan (Hayashi et al., 2007; Tsai and Chen, 2005). Kesendirian membuat penderita melamun dan melamun bisa meransang munculnya halusinasi. Karena itu dalam merawat penderita yang mengalami halusinasi sangatlah penting untuk melibatkan mereka dalam berbagai kegiatan sehingga tidak ada waktu bagi penderita untuk sendiri dan melamun.

Mengendalikan pikiran dapat dijelaskan dengan teori cognitive behavioristic yang di pelopori oleh Aaron T Beck. Seseorang berperilaku tertentu sesuai dengan apa yang dipikirkannya. Karena itu penting untuk melatih penderita untuk berpikiran positif dan melupakan kejadian – kejadian yang menyakitkan dalam hidupnya.

Informan dalam penelitian ini mengungkapkan bahwa jangan menekan perasaan. Dengan kata lain jangan menggunakan mekanisme koping yang tidak konstruktif yaitu represi ( menekan perasaan kealam bawah sadar). Perasaan yang ditekan menyebabkan individu stress (Frisch and Frisch, 2006) . Keadaan stress pada penderita skizofrenia yang mengalami halusinasi dapat mencetuskan halusinasinya (Ibid)

 

KESIMPULAN  DAN  SARAN
 
 
Kesimpulan

 

Tindakan ini bertujuan mengungkap pengalaman individu yang didiagnosa skizofrenia tentang proses terjadinya halusinasi. Hasil menunjukkan bahwa terjadinya halusinasi berhubungan erat dengan beratnya masalah yang dipersepsikan individu dan koping yang dimilikinya untuk mengatasi masalahnya. Bahwa kejadian halusinasi berikutnya dicetuskan oleh kejadian – kejadian tertentu dalam kehidupan individu yang biasanya menganggu perasaan dan pikirannya.

 

Saran
 
Dengan adanya hasil ini diharapkan dapat merawat klien halusinasi secara komprehensif dengan memperhatikan keunikan dari tiap individu. Hasil ini diharapkan dapat dijadikan basis intervensi dalam merawat klien yang mengalami halusinasi, sehingga tidak terpaku hanya pada langkah – langkah intervensi yang sudah biasa digunakan di lapangan. Temuan – temuan dalam hal ini agar dijadikan sebagai bahan dalam proses belajar mengajar khususnya dalam pembelajaran tentang asuhan keperawatan pada klien yang mengalami halusinasi. Hasil  ini dapat dijadikan data lebih lanjut misalnya tentang strategi koping yang efektif untuk mencegah terjadinya halusinasi, efektifitas menghindari kesendirian dalam mencegah terjadinya halusinasi, dan lain – lain.

  

 VII. Daftar Pustaka
 

 Antai otong (1995). Psychiatric Nursing: Biological and behavioral concept.

Philadelphia: WB Saunders Company.

 

Behrendt, R., and Young, C. (2004). Hallucinations in schizophrenia, sensory impairment, and brain disease: A unifying model. Behavioural and Brain science, 27 (6), 771-830.

  

Elder, Evans & Nizette (2005). Psychiatric and Mental Health Nursing, NSW: Elsevier.

  

Frisch and Frisch (2006). Psychiatric Mental Health nursing. 3 ed. Canada: Thompson Delmar Learning.

  

Garcelan, S.P. (2004). A psychological model for verbal auditory hallucinations. International Journal of Psychology and Psychological Therapy, 4(1), 129- 153.

  

Giorgi, A & Giorgi, B (2008). Phenomenology in J.A. Smith (Eds.). Qualitative psychology: A practical guide to research method (pp.26-51). London: Sage publications.

 

Hayashi, N., Igarashi, Y., Suda, K., & Nakagawa, S. (2007). Auditory hallucination coping techniques and their relationship to psychotic symptomatology. Psychiatry and Clinical Neurosciences, 61, 640 – 645.

 

O‟Daly, o.G., Frangon, S., Chitnis, X., & Shergill, S.S. (2007). Brain structural changes in schizophrenia patients with persistent hallucinations. Psychiatry research: neuroimaging, 156, 15-21

 

Rossler, W., Salize, H.J., van Os, J., & Riecher-Rossler, A. (2005) Size of burden of schizophrenia       and            psychotic            disorders.                                   European Neuropsychopharmacology, 15, 399 – 409.

Tsai, Y. & Chen, C. (2005). Self-care symptom management strategies for auditory hallucinations among patients with schizophrenia in Taiwan. Applied Nursing Research, 19(4), 191-196.

 

Uhlhass, P.J. & Mishara, A.L. (2006). Perceptual anomalies in schizophrenia: Integrating phenomenology and cognitive neuroscience. Schizophrenia Bulletin, 33(1), 142–156.

                     

Wilding, C. & Whiteford, G. (2005). Phenomenological Research: An exploration of conceptual, theoretical and practical issues. OTJR: Occupation, Participation and Health, 25(3), 98–104.

 

WHO (2008). Mental health and substance abuse: facts and figures. Retrieved May 25,       2009,   from http://www.searo.who.int/en/section1174/section1199/section1567_6744.htm

Related Posts

Komentar