SINDROMA SANGKAR KOSONG

SINDROMA SANGKAR KOSONG

SINDROMA SANGKAR KOSONG

(Empty-Nest Syndroma)

 

====================================================================

Sri Handayani Saptaning Siwi, S. Psi, Psikolog. Psikolog Klinis Unit Pelayanan Psikologi, Instalasi Rehabilitasi Medik, RSUD Banyumas. September 2021.

====================================================================

 

PENGERTIAN

Ketika rumah masih ada individu- indivdiu yang dapat dilihat atau ditemui secara berganti, ada yang selalu  minta tolong membikinkan nasi goreng, dengan rayuan bahwa nasi goreng ibu tidak ada duanya, merupakan hal yang sangat biasa atau bahkan menjadi rutinitas. Namun setelah setiap hari yang dilihat dan ditemui hanya pasangan kita, tak ada lagi yang merayu meminta dibuatkan nasi goreng mulai dirasa ada yang hilang. Kerepotan yang telah dialami sekian waktu telah menjadi kebiasaan, saat kebiasaan itu tidak bisa dilakukan lagi maka kerepotan menjadi suatu kehilangan. Hilangnya kebiasaan yang demikian itu dapat menghadirkan timbulnya rasa sepi yang pada akhirnya merasa kesepian yang kemudian rasa sepi itu mengundang rasa sedih yang kemudian dapat menjadi kesedihan. Rumah menjadi tempat yang seperti tak ada kehidupan, sepi dan kosong seperti Sangkar Kosong.  Sindrom sangkar kosong merupakan suatu perasaan kesepian dan kesedihan yang umum dimiliki orangtua ketika anak-anaknya mulai pergi meninggalkan rumah. Sindrom sangkar kosong merupakan respons yang maladaptif atas transisi menjadi orangtua (postparental), yang muncul atas reaksi kehilangan anak-anak mereka (Borland, 1982 dalam Raup & Myers, 1989).

 

FAKTOR RISIKO SINDROMA SANGKAR KOSONG

Rasa sedih dan sepi adalah sesuatu kondisi yang lumrah hadir dalam perasaan orang yang mulai ditinggal anak-anaknya menjemput masa depannya. Namun rasa sepi dan sedih tersebut diharapkan tidak berkembang menjadi kesedihan dan kesepian yang tidak terurai. Individu yang memiliki faktor risiko mengalami sindroma sangkar kosong (Glenn, 1975 dalam Mitchell & Lovegreen, 2009). antara lain adalah :

- Orangtua yang perempuan / ibu (usia dewasa madya , 40-50 tahun)

- Ibu yang menjalankan peran sebagai Ibu Rumah Tangga murni/ tradisional

- Ibu yang sangat melayani anak-anaknya

Dapat dimaknai bahwa orangtua yang sangat rentan terkena sindroma sangkar kosong adalah orangtua perempuan atau ibu, yakni seorang ibu yang sangat fokus mendedikasikan dirinya untuk mendampingi dan melayani anak-anak hingga menjadi lupa dalam  mengembangkan ketrampilan sosialnya dan lupa pula mengembangkan dan mengasah aktivitas yang menjadi  hobbynya sehingga seperti tidak memiliki hobby lagi.

 

DAMPAK SINDROMA SANGKAR KOSONG

Dengan perginya anak-anak menjemput masa depannya, seperti harus merantau karena pekerjaan, maupun menuntut ilmu atau anak-anak yang harus membangun rumah tangga secara mandiri, dimana menimbulkan suasana rumah jadi sepi maka akan memicu timbulnya stress. Stress bukan hanya karena suasana rumah yang kosong dan sepi, dinamika interaksi dengan keluarga menjadi monoton namun yang mendasar adalah karena ibu merasa kehilangan peran utama sebagai ibu, peran yang menjadi fokus utama dalam aktivitas kehidupannya selama ini serta menjadi identitas diri yang berharga sebagai perempuan (Harkins, 1978 dalam Iman & Aghamiri, 2011).

Perasaan sedih dan kehilangan yang pada akhirnya menjadi kesedihan dan kesepian yang menjenuhkan, apabila tidak dapat mengurai kejenuhan maka akan menjadi ketidakberdayaan. Ketidakberdayaan yang tidak dipahami oleh pasangan dapat berdampak pada konflik personal dengan pasangan. Merasa pasangan memiliki karakter yang menyebalkan, merasa pasangan sekarang berubah kurang perhatian. Yang sesungguhnya karakter pasangan sudah ada sejak awal pernikahan tetapi karena selama menjalankan peran sebagai ibu teralihkan pada urusan anak. Setelah anak sudah tidak menjadi fokus lagi maka apa yang tadinya tidak terperhatikan sekarang menjadi pusat perhatian karena tidak ada yang mengalihkan perhatiannya. Kondisi ketidak berdayaan juga dapat berlanjut menjadi suatu kondisi depresi. Hal tersebut seperti yang disampaikan oleh Carin Rubenstein dalam penelitiannya bahwa penelitian terhadap seribu wanita yang mengalami sindrom sangkar kosong diperoleh hasil bahwa 10% diantaranya dapat menjadi masalah jangka panjang dan bisa menjadi masalah yang akan berakhir pada depresi (Barr, 2009).

Fase situasi sangkar kosong ternyata tidak selalu muncul menjadi sindroma atau berdampak secara negatif. Orangtua justru merasa bangga sudah mampu melepaskan anak-anaknya menjemput masa depannya, merasa lebih memiliki banyak waktu untuk lebih intens dengan pasangan. Dalam suatu penelitian 71% ayah dan  79% ibu yang telah ditinggal anak-anaknya menyampaikan bahwa fase postparental lebih baik atau sama baiknya dengan fase – fase kehidupan sebelumnya Deutscher (1964, dalam Glenn, 1975). Merasa kepuasan hidup dan pernikahan mengalami kenaikan ketika anak-anak pergi meninggalkan rumah (Dennerstein, dkk., 2002; Schmidt, dkk., 2004 dalam Mitchell & Lovegreen, 2009). Kondisi-kondisi positif tersebut terdapat catatannya bahwa mereka tetap teratur melakukan komunikasi dengan anak-anaknya walaupun berjarak. (White & Edwards, 1990 dalam Mitchell & Lovegreen, 2009).

 Penelitian yang pernah dilakukan di Indonesia juga belum menemukan keseragaman atau kecenderungan ke arah kondisi tertentu bagi ibu-ibu usia dewasa madya (usia 40 – 60 tahun) dalam mensikapi fase sangkar kosong. Mengakui bahwa ditinggal anak-anak menjadi sepi namun tetap bersyukur karena anak-anak pergi dengan tujuan baik, kuliah atau kerja. Merasa kehilangan, tetapi tetap senang karena orangtua merasa mampu membiayai sesuai cita-cita anak. (Nurul Akmalah, Jurnal PIO, 2014).

 

ANTISIPASI MENGHADAPI FASE SANGKAR KOSONG

Beberapa orang akan berbeda dalam menyikapi fase sangkar kosong. Latar belakang budaya dan Sosiodemografis (Mitchell & Lovegreen, 2009), yang berbeda akan mempengaruhi bagaimana fase sangkar kosong dirasakan, demikian juga dengan perbedaan kemampuan bersosialisasi, tingkat sosioekonomi, peran sebagai ibu, dan kemampuan adaptasi pada ibu (Raup & Myers, 1989).

Agar ibu usia dewasa madya (usia 40 – 60 tahun ) dapat mensikapi fase sangkar kosong dengan lebih positif maka perlu adanya pengkondisian bagi mereka orangtua atau ibu-ibu yang akan masuk pada usia dewasa madya dan berhadapan dengan fase sangkar kosong. Menurut Iman &Aghamiri ( 2011) untuk dapat melewati fase sangkar kosong secara positif maka seorang ibu memerlukan kesehatan mental dan kesejahteraan psikologis (psychological well-being) yang efisien. Komponen psychological well-being yang dirumuskan oleh Ryff, (1989) dalam 6 (enam) dimensi meliputi :

  1. Penerimaan diri

Memiliki sikap positif terhadap diri sendiri, mengakui dan menerima seluruh aspek diri baik kualitas diri yang baik maupun buruk, merasa positif tentang kehidupan yang dijalaninya dan kehidupan di masa lalunya. Bagaimana Individu menerima dan memaafkan apa yang terjadi pada dirinya dan masa lalunya.

  1. Hubungan positif dengan orang lain

Membina hubungan yang hangat, memuaskan, dan saling percaya; memperhatikan kesejahteraan orang lain; menunjukkan empati dan afeksi yang kuat; serta dapat menjalin hubungan yang bersifat timbal balik, saling memberi dan menerima. Bagaimana Individu membangun dan menjaga interaksi yang harmonis dengan anak-anaknya yang sudah terpisah serta dengan lingkungan sosialnya.

  1. Otonomi

Mampu mandiri dan mengarahkan dirinya sendiri, mampu menghadapi tekanan sosial, dapat mengatur tingkah laku dari dalam diri, dan mengevaluasi diri dengan standar pribadi. Bagaimana Individu tetap mampu menjalankan aktivitas sesuai dengan perannya sekalipun ada masalah yang harus diselesaikan dan dihadapi.  

  1. Penguasaan lingkungan.

Mampu menguasai dan mengatur lingkungan, mengontrol berbagai kegiatan eksternal yang kompleks dengan menggunakan kesempatan yang ada secara efektif, serta mampu memilih atau menciptakan konteks yang sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai yang dianut. Bagaimana Individu terlibat dalam aktivitas sosial yang pokok dan yang dapat dipilih sesuai dengan keminatannya

  1. Tujuan hidup

Memiliki kepercayaan yang dapat memberinya arti dan tujuan hidup, memiliki pemahaman yang jelas akan tujuan dan arah hidup yang dijalani, memiliki arah dalam hidupnya, merasakan makna kehidupannya saat ini maupun masa lalunya. Bagaimana Individu memiliki prinsip-prinsip hidup yang diyakini sebagai kontrol tujuan hidupnya.

  1. Pertumbuhan pribadi

Kesadaran akan potensi yang dimilikinya, memiliki keinginan untuk berkembang, terbuka pada pengalaman- pengalaman baru, merasakan kemajuan diri dari waktu ke waktu, serta berubah dengan cara yang efektif untuk menjadi lebih baik. Bagaimana Individu tetap berusaha menuju pada kondisi jasmani, psikologis dan spiritual yang lebih baik.

Psychological well-being sudah harus dipersiapkan untuk dikaji keberadaan dalam diri sebelum individu masu fase sangkar kosong maupun fase pensiun. Kondisi tersebut perlu dipersiapkan karena melihat bahwa setiap komponen tersebut adalah suatu kondisi psikologis yang komplek, dimana sebelumnya harus dikaji lebih dahulu status terkini masing- masing komponen tersebut. Disamping itu, untuk mencapai kondisi yang mantap dari setiap komponennya harus melalui proses tidak bisa dicapai secara instan.  Pembimbingan dengan profesional psikolog klinis akan menjadi sangat diperlukan apabila status terkini dari setiap komponen tersebut masih jauh dari harapan karena adanya kondisi psikologis yang kompleks.

 

REFERENSI

Akmalah, Nurul (2014). Psychological well-being pada Ibu usia Dewasa Madya yang berada pada fase Sangkar Kosong. Jurnal Psikologi dan Organisasi.Vol.3, No.2

Hurlock, E.B. 1999. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga..

Darmayanthi, Ni Km. Peby; Lestari , Made Diah. Proses Penyesuaian Diri pada Perempuan Usia Dewasa Madya yang berada pada Fase Sarang Kosong. Jurnal Psikologi Udayana, [S.l.], p. 68-78, feb. 2019. ISSN 2654-4024

 

Related Posts

Komentar