Kenali Sindrom Baby Blues dan Depresi Paska Pelahirkan
MENGENALI SINDROMA PASKA MELAHIRKAN/ SINDROMA BABY BLUES
DAN DEPRESI PASKA MELAHIRKAN/ DEPRESI POST PARTUM
====================================================================
Sri Handayani Saptaning Siwi, S. Psi, Psikolog. Psikolog Klinis Unit Pelayanan Psikologi, Instalasi Rehabilitasi Medik, RSUD Banyumas. September 2020.
====================================================================
Salam Sehat buat Sahabat Sehat semuanya.
Sahabat Sehat terutama yang sudah pernah melahirkan, siapa yang merasakan adanya peningkatan sensitifitas perasaan paska melahirkan ?
Semuanya pasti merasakan , hanya ada yang ringan dan sebentar dimana setelah bisa beradaptasi menjadi lebih relaks , namun ada yang kuat dan berkepanjangan. Bagi semua sahabat sehat baik yang sudah menjadi ibu maupun yang belum penting lho mengenali kondisi-kondisi psikologis yang akan muncul paska melahirkan.
Kita mengetahui dulu yuk, apa sebenarnya Sindroma Paska Melahirkan / Sindroma Baby Blues
Perempuan dalam kehidupan akan mengalami banyak fase perubahan yang harus dilewati. Setelah seorang perempuan menikah sebagai istri sampai menjadi ibu , itupun akan melewati beberapa proses, seperti proses kehamilan, proses melahirkan, proses nifas serta proses perubahan peran menjadi seorang ibu (Niken Kurnia, 2016). Setiap proses yang harus dilewati akan memberikan konsekuensi terjadinya perubahan-perubahan kondisi fisik, psikologis dan sosial (Baston & Hall, 2016) yang semua itu akan berpengaruh pada manifestasi dinamika emosi dan perilaku yang dapat mengarah pada terjadinya kondisi Sindroma Baby Blues.
Sindroma Baby Blues merupakan sindroma yang terjadi pada ibu yang baru melahirkan. Angka kejadian Sindroma baby blues di Indonesia sekitaran 50 % - 70 % (WHO, 2018). Ibu paska melahirkan mengalami terjadinya perubahan hormon dan perubahan kondisi peran yang membutuhkan penyesuaian-penyesuaian. Menurut Litter, 2017 Sindroma Baby Blues adalah perasaan yang terjadi pada ibu paska melahirkan yang ditandai dengan kecemasan, serangan panik, kelelahan, perasaan menyakahkan diri dan merasa tidak mampu mengurus bayinya.
Pada ibu paska melahirkan akan terproduksi hormon endorfin (Babicki-Farrugia, Todays Parent) yang membuat ibu cepat hilang rasa sakitnya, merasa lega, merasa percaya diri , merasa bergairah mengelola bayinya. Hormon endorfin pada hari ke 3 atau ke 4 paska melahirkan akan menurun secara drastis. Demikian juga seiring dengan lepasnya plasenta maka hormon progesteron, estrogen, relaxin dll akan mengalami penurunan yang bermakna juga. Perubahan kondisi hormon yang demikian itulah yang memberikan pengaruh adanya perubahan suasana hati ibu paska melahirkan, seperti merasa sedih , merasa sendiri, sensitif dll. Hadirnya bayi yang masih sangat dependent dengan tubuh ibunya, menuntut adanya proses adaptasi. Dalam Kondisi yang demikian menyebabkan munculnya rasa bersalah tidak dapat menyusui secara langsung apabila akan meninggalkan bayi, munculnya rasa khawatir bayinya jatuh jika tidak terpantau terus, merasa sungkan meminta bantuan karena khawatir dianggap ibu yang belum siap punya anak dll.
Sindroma baby blues tidak akan menguat dan berkepanjangan jika adanya dukungan yang tulus dan terbuka dari pasangan, orangtua atau kerabat yang mendampingi. Dukungan yang tulus,
dengan sepenuh hati meluangkan waktu untuk hadir secara fisik mendampingi. Inisiatif ibu paska melahirkan dalam membuka diri seringkali sangat menurun. Ibu paska melahirkan cenderung tidak mau terbuka meminta atau menunjukkan bahwa dirinya membutuhkan bantuan. Kondisi tersebut akan semakin menguat ketika karakter dasarnya cenderung introvert. Dengan demikian , ibu paska melahirkan sangat membutuhkan dukungan yang bersifat terbuka, dimana pendamping selalu menawarkan pertolongan untuk siap menjaga bayinya. Pendamping juga harus memberikan fasilitas- fasilitas tertentu sebagai suatu bentuk support yang nyata seperti :
- Mendapatkan asupan dengan mudah dan baik
Penyesuaian-penyesuaian ibu yang baru melahirkan akan membuat aktivitas yang biasanya dilakukan sendiri menjadi harus ada yang mefasilitasi, seperti makan. Dimana ketersedian makanan yang baik dan cukup, sesuai kebutuhan dan selera harus diperhatikan karena jika tidak terfasilitasi akan berpengaruh pada emosi dan produksi ASI.
- Istirahat yang cukup dan berkualitas
Pendamping harus mensupport dan mefasilitasi ubu yang baru melahirkan untuk istirahat seperti saat bayi sedang tidur atau pendamping mengambil peran menjaga bayi untuk memberi kesempatan ibu istirahat.
- Menjalankan aktivitas yang disenangi atau Hobby
Ibu yang baru melahirkan akan mudah merasakan kejenuhan karena area aktivitas menjadi terbatas dan kurang bervariasi. Kebiasaan -kebiasaan yang sebelumnya dilakukan menjadi belum merasa leluasa untuk melakukan karena adanya depensinya bayi terhadap fisik ibu. Untuk mengelola kejenuhan maka pendamping harus memberikan ruang pada ibu yang baru melahirkan untuk melakukan aktivitas yang disenangi atau sesuai hobbynya.
- Melakukan komunikasi dengan ungkapan atau perlakuan yang positif
Pemberian kesempatan pada ibu yang baru melahirkan untuk mengeksplorasi isi pikir dan rasa yang dialami. Ungkapan-ungkapan positif dari pasangan seperti rasa terimakasih karena sudah melahirkan dengan semangat dan kuat. Perlakuan seperti pemberian hadiah , sentuhan - sentuhan yang menunjukkan kasih sayang
Nah..........kita juga sering mendengar istilah Depresi Paska Melahirkan / Depresi Post Partum . Apa bedanya dengan Baby Blues tadi ya ?
Sindroma Baby Blues yang berkepanjangan dimana melebihi waktu 1 bulan akan dapat berlanjut menjadi depresi paska melahirkan. Angka kejadian depresi paska melahirkan di Indonesia sekitar 22,4 % (WHO, 2018)
Beberapa penyebab terjadinya depresi paska melahirkan yang beberapa kasus ditemukan di lapangan adalah selain perubahan hormon dan proses adaptasi seperti yang terjadi pada sindroma baby blues seringkali diperkuat oleh adanya kondisi stres / tekanan kehidupan yang sudah dialami ibu sebelum melahirkan bahkan sebelum terjadinya kehamilan dan belum pernah dituntaskan. Ditemui juga kondisi ibu yang dari proses kehamilan, proses melahirkan dan paska melahirkan selalu berkendala dengan kesehatannya. Demikian juga ibu yang telah memiliki riwayat / pernah mengalami ketidakseimbangan kejiwaan, sehingga kondisi paska melahirkan merupakan masa transisi yang dapat menjadi pemicu kekambuhan.
Berdasarkan penelitian Gausia, et.al di Bangladesh yang menunjukkan prevalensi depresi paska melahirkan sebesar 22 % dengan berapa faktor risiko yang dapat menyebabkan ibu paska melahirkan mengalami depresi antara lain :
- Faktor Sosiodemografi, seperti
- usia ibu yang lebih dari 35 tahun,
- pendidikan ibu yang rendah,
- adanya hubungan yang buruk dengan mertua
- riwayat depresi atau penyakit terdahulu
- Faktor Obsetri
- Kehamilan yang tidak diinginkan
- Riwayat kematian bayi saat melahirkan
- Faktor Marital
- Adanya hubungan dan perlakuan yang buruk dari suami
Penelitian yang setara pernah dilakukan di Denpasar Bali dengan angka prevalensi sebesar 20,5% dan faktor risiko yang tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian di atas.
Depresi paska melahirkan jika tidak ditangani secara tepat maka akan memberikan dampak pada timbulnya permasalahan dalam keluarga. Dimana ibu yang mengalami depresi paska melahirkan akan menjadi kronis sehingga mengganggu kebermaknaan dalam menjalankan peran sebagai istri dan ibu. Kondisi tersebut menjadi berefek domino pada pasangan dan anak, dimana bagi pasangan dapat meningkatkan risiko untuk mengalami depresi juga. Dampak bagi anak dapat memicu munculnya gangguan emosi dan perilaku seperti lambat bicara, sulit makan, mudah merengek dll.
Dengan demikian depresi paska melahirkan sangat perlu untuk segera mendapatkan penanganan dengan tepat. Adapun upaya menangani kondisi depresi paska melahirkan tidak cukup hanya menghadirkan dukungan dari pasangan, orangtua atau kerabat secara tulus dan terbuka, namun harus ditambahkan dengan treatment yang dilakukan oleh profesional psikolog klinis maupun psikiater melalui psikoterapi dan farmakoterapi.
Mari kita kenali pada orang - orang terdekat kita yang baru melahirkan agar dapat terobservasi sejak dini adanya kondisi sindroma paska melahirkan / sindroma baby blues ataupun depresi paska melahirkan / depresi post partum untuk segera mendapatkan edukasi dan penanganan lebih cepat dan tepat sehingga diharapkan meminimalkan terjadinya dampak yang melebar yaitu hilangnya kebermaknaan hidup ibu paska melahirkan, tergangguanya tumbuh kembang bayi dan keharmonisan keluarganya.
Sebagai upaya membantu dalam mengenali adanya Sindroma paska melahirkan atau depresi paska melahirkan, dibawah ini dituangkan bagan perbedaan kondisi sindroma paska melahirkan dengan depresi paska melahirkan.
Aspek |
Sindroma Baby Blues |
Depresi Post Partum |
Gejala |
ü Instab emosi, mudah marah, mudah sedih, sensitif, mudah cemas, mudah menangis , khawatir tidak bisa merawat bayi dengan baik. ü masih mampu merawat bayinya dan beraktivitas sehari-hari |
ü Sedih, sensitif, penurunan kepercayaan diri, tidak bisa tidur/tidur berlebihan, kehilangan nafsu makan/makan berlebihan, merasa kelelahan yang bermakna sekalipun istirahat cukup ü Kurang peduli dengan bayinya dan kehilangan keminatan mengerjakan aktivitas sehari hari. |
Durasi munculnya gejala |
ü Gejala mulai menguat pada hari ke 2 atau ke 3. ü Durasi sampai 14 hari. |
ü Gejala tetap menguat sampai lebih dari 1 bulan ü Durasi bisa sampai 1 tahun |
Penyebab |
ü Perubahan hormon ü Faktor psikologis terkait dengan perubahan bentuk tubuh dan proses adaptasi |
ü Perubahan hormon ü Faktor psikososial seperti stres atau beban hidup yang telah dialami sebelum melahirkan |
Cara Penanganan |
ü Dapat menghilang tanpa intervensi psikologis secara khusus maupun pengobatan. Mengembangkan dukungan dari keluarga (suami ,orangtua dan atau kerabat) yang tulus dan terbuka |
ü Gejala tidak menghilang bahkan menguat setelah 1 bulan maka membutuhkan Psikoterapi dan Farmakoterapi |
Prevalensi
|
ü Terjadi pada 50%-70% ibu paska melahirkan (WHO, 2018) |
ü Terjadi pada 22,4 % ibu paska melahirkan (WHO, 2018) |
Bagi para perempuan yang akan menjadi ibu dan para laki-laki yang akan menjadi pejuang suami siaga, bekalilah diri kita dengan banyak-banyaklah mencari informasi yang diharapkan dapat menjadi panduan dalam mempersiapkan diri menghadapi setiap perubahan yang mau tidak mau harus dijalani . Apalagi jika perubahan itu adalah proses perubahan untuk menjadi seorang ibu dan seorang ayah.
Kelancaran, kenyamanan dan kesehatan dalam menjalani proses perubahan menjadi seorang ibu dan ayah sangat perlu dipersiapkan dan diperjuangkan karena dampaknya adalah kelangsungan generasi penerus, dimana harapanya lahir generasi penerus yang kuat dan sehat. Disamping itu dampak yang lain adalah kelangsungan kehidupan rumah tangga yang akan menanungi tumbuh kembang generasi penerus. Dengan suatu harapan bahwa akan selalu lahir keluarga yang kuat, bahagia dan sejahtera serta generasi penerus yang kuat dan sehat pula.
Bagaimana sahabat sehat, pembahasan tentang tema baby blues kali ini ? sangat dekat ya fenomenanya dengan kehidupan kita ? semoga bermanfaat !
DAFTAR PUSTAKA
Anggarini, Inge Anggi (2019). Faktor-faktor yang berhubungan dengan Depresi Postpartum di Praktik Mandiri Bidan Misni Herawati, Husniyati dan Soraya. Jurnal Kebidanan, 8 (2), 94-104
Ariguna Dira1, I Komang Prayoga, Anak Ayu Sri Wahyuni2 (2016). Prevalensi Dan Faktor Risiko Depresi Postpartum Di Kota Denpasar Menggunakan Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS), E-Jurnal Medika, Vol. 5 No.7
Yunita, Sari, Suryani (2020). Post partum blues; Sebuah tinjauan literatur. Wellness and Healthy Magazine. Vol.2, Issue.2, p.302-307
Handayani, dr. Verury Verona , (2019). Postpartum Depression dan Baby Blues, Lebih Parah yang Mana? Halodoc. 12 Agustus 2019